PIcture

PIcture

Senin, 12 Agustus 2013

Sampit, pada 18 Februari 2001 silam


Cerita ini akan mengisahkan tentang masa kecil ku. Aku bernama Ria Andriani Syahrida. Aku lahir di Sampit, Kalimantan Tengah pada tanggal 18 November 1996. Aku tumbuh di keluarga sederhana bersama dengan saudara-saudara sepupuku yang lain. Saat menginjak usia 3,5 tahun, aku menuntut ilmu di salah satu Taman Kanak-kanak yang ada dikota itu. Saat Ibu mendaftarkan ku ke TK tersebut, banyak pembicaraan tetangga yang menganggap bahwa Ibu ku keterlaluan karena memasukan aku ke TK pada umur semuda itu. Padahal sejatinya itu adalah kemauan dari diri ku pribadi. Di usia 2 tahun, aku memang sudah bisa menghapal dan menuliskan abjad, berhitung serta membaca!
     Jika mendengar nama Sampit, apa yang kalian ketahui? Mungkin sebagian besar dari kalian hanya mengetahui bahwa Sampit adalah sebuah kota kecil yang ada di Kalimantan Tengah dan bagian dari kebudayaan Dayak yang ada di Pulau Kalimantan. Tapi, apakah kalian mengetahui tragedi apa yang pernah terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah pada tahun 2001 lalu? Sepertinya tidak banyak yang tau soal itu. Akan tetapi, tidak sedikit juga yang tau mengenai ini. Karena tragedi inilah yang membuat nama Sampit menjadi begitu tersohor di Indonesia.
     Hari itu tepat tanggal 18 Pebruari 2001 pukul 1 malam, terjadi sebuah konflik besar-besaran antara dua suku. Yaitu Dayak dan Madura! Entah apa yang menyebabkan konflik itu pecah? Aku tidak tau dan sepertinya itu terlalu berat untuk menjadi pikiran seorang anak seusia ku waktu itu. Dari sekian anak yang ada di Sampit, aku adalah salah satu anak yang bisa dibilang mempunyai masa kecil yang tragis. Karena pada saat konflik tersebut terjadi, terjadi pembantaian besar-besaran dari kedua pihak yang berseteru. Pada saat kejadian, Ayah ku sedang tidak dirumah. Beliau pergi memancing bersama pamannya. Tinggallah aku dan Ibu berdua dirumah bersama almarhum bibi ku yang bernama Rusmaniah.
     Saat sebelum petugas kepolisian datang, rumah ku sempat diincar oleh salah satu suku dan hendak diserang karena dikira sebagai salah satu anggota dari suku lawan. Akan tetapi, utunglah ada tetangga kami yang bernama Le’ Diono yang berkata kepada mereka bahwa kami adalah keturunan Jawa. Dan memang benar Kakek ku adalah orang Jawa asli dan Nenek adalah orang Dayak asli. Tapi itu tidak sepenuhnya benar, mengapa? Karena sesungguhnya Ayah ku adalah orang yang berkesukuan Madura. Yang mungkin jika diketemukan orang Dayak, akan dibantai pula. Sampai akhirnya, petugas kepolisian datang dan mengajak kami untuk pergi ketempat pengungsian! Akan tetapi polisi dan ibu serta bibinya terkejut mendengar perkataan yang ku ucapkan. Aku berkata, “ mama, bibi, dan pak polisi duluan saja. Aku masih mau menunggu ayah. Ayah belum pulang mancing! “. Polisi tersebut berusaha membujuk agar ku mau ikut, tapi aku tetap menjawab seperti itu. Sampai 3 kali pihak kepolisian yang berbeda datang kerumah untuk mengajak keluarga ku mengungsi ke pemda setempat. Akan tetapi, jawaban yang sama mereka dapatkan. Sampai akhirnya, ayahku pulang! Maka orang tua ku dan bibi pun diajak mengungsi. Tapi tidak dengan ku! Aku dititipkan kepada nenek dengan alasan keamanan. Semenjak aku dititipkan kepada nenek, aku hampir tidak mengetahui kabar kedua orang tuaku. Tak ada satu pun alat komunikasi yang dapat digunakan karena listrik padam dan signal handphone hilang!
     Dirumah nenek, aku tak lama. Aku dibawa lagi oleh nenek dan tante pergi ke Kota Besi dengan dijemput o’om ku. Di tengah perjalanan, mobil kami di cegat oleh salah satu suku! Disitu, aku melihat sebuah potongan kepala yang masih berlumuran darah, dengan mata menutup dan bibir yang diberi sebatang rokok menyala. Apa yang ku lihat, belum selesai sampai disitu! Sampai akhirnya salah seorang anggota suku membawa seorang laki-laki yang sudah sekarat, dan anggota suku itu langsung menebas kepala lelaki tersebut didepan mobil yang kami tumpangi! Saat kejadian itu, tante menangis dan menutup mata. Begitu juga dengan nenek dan o’om yang tak tega melihat kejadian itu! Akan tetapi, aku menyaksikan kejadian itu tanpa mengedipkan mata sekalipun. Setelah sang anggota suku memenggal kepala orang tersebut, kepala tersebut di jinjing ke samping mobil yang kami tumpangi! Dan mereka langsung berteriak “ pesta takuluk ! pesta takuluk ! “ yang artinya adalah pesta kepala. Demikian mereka berteriak dan kami diijinkan melanjutkan perjalanan!
     Disetiap jalan yang kami lalui, kami nyaris selalu menemukan mayat-mayat yang berserakan dipinggir jalan layaknya sampah. Entah itu yang utuh, atau kehilangan anggota badan! Seperti kepala, telinga, tangan, maupun kaki. Setengah jam melaju, akhirnya kami sampai di Kota Besi! Suasana disana masih lebih kondusif ketimbang suasana di Sampit yang masih kerap terjadi pembantaian. Dengan tiada rasa takut, aku langsung turun dari  mobil dan masuk kerumah tante ku itu. Dan seperti biasa jika aku kesana, aku selalu melihat kesungai! Di sungai kali ini, aku tidak melihat ada ikan ataupun perahu nelayan yang mengapung untuk sekedar memancing atau menyeberang ke desa yang lain. Disungai itu, aku melihat mayat-mayat yang mengapung tanpa busana. Tak perduli itu mayat lelaki ataupun seorang perempuan! Aku berkata pada nenek, “ nek, itu disana banyak orang mati yang terapung. Kenapa tidak kita ambil dan kubur mereka? Daripada disungai, nanti bisa dimakan buaya! “. Mendengar perkataan ku, nenek terkejut dan langsung menutup pintu belakang rumah tante yang langsung menghadap kesungai dan menggendong ku kedalam. Untuk mengalihkan pembicaraan, nenek langsung menyuruhku tidur dengan alasan hari sudah siang! Dan aku, menuruti apa yang dikatakan oleh nenek.
     Keesokan harinya, aku diajak kembali ke Sampit. suasana di Sampit memang sudah tidak separah kemarin! Sekarang yang terlihat bukan lagi mayat, melainkan orang-orang yang berjaga dengan menggunakan parang dan tombak. Sampai dirumah nenek, aku, nenek dan tante langsung mengunjungi rumah tetangga yang menjalankan ritual mandi kebal sementara. Untuk berjaga kalau-kalau kejadian tersebut terulang lagi esok! Di ritual tersebut mereka ditutupi oleh kain kuning yang atasnya diberi bunga. Sesuai dengan namanya, kami dimandikan dan sang pemimpin ritual langsung berkata-kata yang aku tidak mengerti apa artinya? Sampai akhirnya, satu persatu satu kami yang mengikuti ritual disuruh menggigit sebuah parang tajam secara bergantian. Setelah semua menggigit, parang yang tajam tadi langsung di sayatkan, di tebaskan, dan di bacokkan ketubuh kami semua. Akan tetapi, kami semua baik-baik saja! Tak ada satupun darah yang keluar dari tubuh kami. Itu artinya ritual itu berhasil! Kekebalan itu hanya bertahan sekitar 2 minggu. Jika ingin menghilangkannya kurang dari seminggu, kita bisa memakan labu kuning!
     Setelah menjalani ritual, aku serta kakek dan nenek hendak pergi ke Malang, mengantarkan aku kepada Ibu dan Ayahnya yang ternyata ada disana. Saat menunggu jemputan didepan, tiba-tiba datang seorang laki-laki dari suku Dayak dengan menenteng sebilah parang dan merebut ku dari gendongan nenek. Alih-alih hendak menebas kepala ku, sang kepala suku datang mencegah lelaki itu. Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, karena mereka bercengkrama menggunakan bahasa Dayak. tapi apa yang dikatakan oleh sang kepala suku membuat sang lelaki tak jadi menebas kepala ku. Sang kepala suku langsung menggendong ku dan mengembalikan ku kepada nenek! Sembari mengelus kepala ku, sang kepala suku bercengkrama pada sang nenek dengan menggunakan bahasa Dayak hingga akhirnya o’om datang menjemput.
     Kemudian kami berangkat ke pelabuhan dan menaiki kapal. Aku sempat tinggal di Malang dan menuntut ilmu disana hingga kelas 3 SD. Sampai akhirnya, aku kembali lagi ke Sampit dan melanjutkan sekolah hingga sekarang. Itulah penggalan kisah mas kecil ku di Sampit, Kalimantan Tengah. Aku berharap, kejadian itu, tak terulang lagi! Cukup anak’anak dimasa kami saja yang pernah merasakan dan menyaksikan kejadian kelam tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar