Cerita ini akan mengisahkan tentang masa kecil ku. Aku
bernama Ria Andriani Syahrida. Aku lahir di Sampit, Kalimantan Tengah pada
tanggal 18 November 1996. Aku tumbuh di keluarga sederhana bersama dengan
saudara-saudara sepupuku yang lain. Saat menginjak usia 3,5 tahun, aku menuntut
ilmu di salah satu Taman Kanak-kanak yang ada dikota itu. Saat Ibu mendaftarkan
ku ke TK tersebut, banyak pembicaraan tetangga yang menganggap bahwa Ibu ku
keterlaluan karena memasukan aku ke TK pada umur semuda itu. Padahal sejatinya
itu adalah kemauan dari diri ku pribadi. Di usia 2 tahun, aku memang sudah bisa
menghapal dan menuliskan abjad, berhitung serta membaca!
Jika mendengar
nama Sampit, apa yang kalian ketahui? Mungkin sebagian besar dari kalian hanya
mengetahui bahwa Sampit adalah sebuah kota kecil yang ada di Kalimantan Tengah
dan bagian dari kebudayaan Dayak yang ada di Pulau Kalimantan. Tapi, apakah kalian
mengetahui tragedi apa yang pernah terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah pada
tahun 2001 lalu? Sepertinya tidak banyak yang tau soal itu. Akan tetapi, tidak
sedikit juga yang tau mengenai ini. Karena tragedi inilah yang membuat nama
Sampit menjadi begitu tersohor di Indonesia.
Hari itu tepat
tanggal 18 Pebruari 2001 pukul 1 malam, terjadi sebuah konflik besar-besaran
antara dua suku. Yaitu Dayak dan Madura! Entah apa yang menyebabkan konflik itu
pecah? Aku tidak tau dan sepertinya itu terlalu berat untuk menjadi pikiran
seorang anak seusia ku waktu itu. Dari sekian anak yang ada di Sampit, aku
adalah salah satu anak yang bisa dibilang mempunyai masa kecil yang tragis.
Karena pada saat konflik tersebut terjadi, terjadi pembantaian besar-besaran
dari kedua pihak yang berseteru. Pada saat kejadian, Ayah ku sedang tidak
dirumah. Beliau pergi memancing bersama pamannya. Tinggallah aku dan Ibu berdua
dirumah bersama almarhum bibi ku yang bernama Rusmaniah.
Saat sebelum
petugas kepolisian datang, rumah ku sempat diincar oleh salah satu suku dan
hendak diserang karena dikira sebagai salah satu anggota dari suku lawan. Akan
tetapi, utunglah ada tetangga kami yang bernama Le’ Diono yang berkata kepada
mereka bahwa kami adalah keturunan Jawa. Dan memang benar Kakek ku adalah orang
Jawa asli dan Nenek adalah orang Dayak asli. Tapi itu tidak sepenuhnya benar,
mengapa? Karena sesungguhnya Ayah ku adalah orang yang berkesukuan Madura. Yang
mungkin jika diketemukan orang Dayak, akan dibantai pula. Sampai akhirnya,
petugas kepolisian datang dan mengajak kami untuk pergi ketempat pengungsian!
Akan tetapi polisi dan ibu serta bibinya terkejut mendengar perkataan yang ku
ucapkan. Aku berkata, “ mama, bibi, dan pak polisi duluan saja. Aku masih mau
menunggu ayah. Ayah belum pulang mancing! “. Polisi tersebut berusaha membujuk
agar ku mau ikut, tapi aku tetap menjawab seperti itu. Sampai 3 kali pihak
kepolisian yang berbeda datang kerumah untuk mengajak keluarga ku mengungsi ke
pemda setempat. Akan tetapi, jawaban yang sama mereka dapatkan. Sampai
akhirnya, ayahku pulang! Maka orang tua ku dan bibi pun diajak mengungsi. Tapi
tidak dengan ku! Aku dititipkan kepada nenek dengan alasan keamanan. Semenjak
aku dititipkan kepada nenek, aku hampir tidak mengetahui kabar kedua orang tuaku.
Tak ada satu pun alat komunikasi yang dapat digunakan karena listrik padam dan
signal handphone hilang!
Dirumah nenek, aku
tak lama. Aku dibawa lagi oleh nenek dan tante pergi ke Kota Besi dengan
dijemput o’om ku. Di tengah perjalanan, mobil kami di cegat oleh salah satu
suku! Disitu, aku melihat sebuah potongan kepala yang masih berlumuran darah,
dengan mata menutup dan bibir yang diberi sebatang rokok menyala. Apa yang ku
lihat, belum selesai sampai disitu! Sampai akhirnya salah seorang anggota suku membawa
seorang laki-laki yang sudah sekarat, dan anggota suku itu langsung menebas
kepala lelaki tersebut didepan mobil yang kami tumpangi! Saat kejadian itu,
tante menangis dan menutup mata. Begitu juga dengan nenek dan o’om yang tak
tega melihat kejadian itu! Akan tetapi, aku menyaksikan kejadian itu tanpa
mengedipkan mata sekalipun. Setelah sang anggota suku memenggal kepala orang
tersebut, kepala tersebut di jinjing ke samping mobil yang kami tumpangi! Dan
mereka langsung berteriak “ pesta takuluk ! pesta takuluk ! “ yang artinya
adalah pesta kepala. Demikian mereka berteriak dan kami diijinkan melanjutkan
perjalanan!
Disetiap jalan
yang kami lalui, kami nyaris selalu menemukan mayat-mayat yang berserakan
dipinggir jalan layaknya sampah. Entah itu yang utuh, atau kehilangan anggota
badan! Seperti kepala, telinga, tangan, maupun kaki. Setengah jam melaju,
akhirnya kami sampai di Kota Besi! Suasana disana masih lebih kondusif
ketimbang suasana di Sampit yang masih kerap terjadi pembantaian. Dengan tiada
rasa takut, aku langsung turun dari
mobil dan masuk kerumah tante ku itu. Dan seperti biasa jika aku kesana,
aku selalu melihat kesungai! Di sungai kali ini, aku tidak melihat ada ikan
ataupun perahu nelayan yang mengapung untuk sekedar memancing atau menyeberang
ke desa yang lain. Disungai itu, aku melihat mayat-mayat yang mengapung tanpa
busana. Tak perduli itu mayat lelaki ataupun seorang perempuan! Aku berkata
pada nenek, “ nek, itu disana banyak orang mati yang terapung. Kenapa tidak
kita ambil dan kubur mereka? Daripada disungai, nanti bisa dimakan buaya! “.
Mendengar perkataan ku, nenek terkejut dan langsung menutup pintu belakang
rumah tante yang langsung menghadap kesungai dan menggendong ku kedalam. Untuk
mengalihkan pembicaraan, nenek langsung menyuruhku tidur dengan alasan hari
sudah siang! Dan aku, menuruti apa yang dikatakan oleh nenek.
Keesokan harinya,
aku diajak kembali ke Sampit. suasana di Sampit memang sudah tidak separah
kemarin! Sekarang yang terlihat bukan lagi mayat, melainkan orang-orang yang
berjaga dengan menggunakan parang dan tombak. Sampai dirumah nenek, aku, nenek
dan tante langsung mengunjungi rumah tetangga yang menjalankan ritual mandi
kebal sementara. Untuk berjaga kalau-kalau kejadian tersebut terulang lagi
esok! Di ritual tersebut mereka ditutupi oleh kain kuning yang atasnya diberi
bunga. Sesuai dengan namanya, kami dimandikan dan sang pemimpin ritual langsung
berkata-kata yang aku tidak mengerti apa artinya? Sampai akhirnya, satu persatu
satu kami yang mengikuti ritual disuruh menggigit sebuah parang tajam secara
bergantian. Setelah semua menggigit, parang yang tajam tadi langsung di
sayatkan, di tebaskan, dan di bacokkan ketubuh kami semua. Akan tetapi, kami
semua baik-baik saja! Tak ada satupun darah yang keluar dari tubuh kami. Itu
artinya ritual itu berhasil! Kekebalan itu hanya bertahan sekitar 2 minggu.
Jika ingin menghilangkannya kurang dari seminggu, kita bisa memakan labu
kuning!
Setelah menjalani
ritual, aku serta kakek dan nenek hendak pergi ke Malang, mengantarkan aku
kepada Ibu dan Ayahnya yang ternyata ada disana. Saat menunggu jemputan
didepan, tiba-tiba datang seorang laki-laki dari suku Dayak dengan menenteng
sebilah parang dan merebut ku dari gendongan nenek. Alih-alih hendak menebas
kepala ku, sang kepala suku datang mencegah lelaki itu. Aku tidak mengerti apa
yang mereka bicarakan, karena mereka bercengkrama menggunakan bahasa Dayak.
tapi apa yang dikatakan oleh sang kepala suku membuat sang lelaki tak jadi
menebas kepala ku. Sang kepala suku langsung menggendong ku dan mengembalikan
ku kepada nenek! Sembari mengelus kepala ku, sang kepala suku bercengkrama pada
sang nenek dengan menggunakan bahasa Dayak hingga akhirnya o’om datang
menjemput.
Kemudian kami
berangkat ke pelabuhan dan menaiki kapal. Aku sempat tinggal di Malang dan
menuntut ilmu disana hingga kelas 3 SD. Sampai akhirnya, aku kembali lagi ke
Sampit dan melanjutkan sekolah hingga sekarang. Itulah penggalan kisah mas
kecil ku di Sampit, Kalimantan Tengah. Aku berharap, kejadian itu, tak terulang
lagi! Cukup anak’anak dimasa kami saja yang pernah merasakan dan menyaksikan
kejadian kelam tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar